MANGKUNEGARAN 1896-1944 dan MODERNISASI DI JANTUNG BUDAYA JAWA

MODERNISASI DI JANTUNG BUDAYA JAWA
(MANGKUNEGARAN 1896-1944)

Priode akhir abad ke-19 dan awal abad ke-20 bagi masyarakat Jawa merupakan masa yang penuh dengan perubahan. Perubahan itu hampir mencakup segala aspek kehidupan, baik politik, ekonomi maupun sosial budaya. Faktor yang mempengaruhi perubahan sosial salah satunya, perubahan tersebut yang sering dinamakan westernisasi(proses masuknya kebudayaan Barat). Westernisasi tidak berjalan muncul dengan tiba-tiba. Proses itu awalnya hanya pada kulit budaya dan masyarakat Jawa, dan secara bertahap masuk ke jantung pusat kekuasaan dan kebudayaan Jawa yang berakibat perubahannya saat ini.
Sebenarnya ada tiga fase pembebasan masuknya budaya Barat ke dalam masyarakat Jawa. Fase pertama merupakan fase pertama kontak antara VOC dan para raja dan sultan yang berlangsung pada abad ke-17. Fase kedua, yakni terjalinnya kontak antara VOC dan penguasa bumiputra yang lebih rendah, yaitu dengan para bupati. Faseketiga adalah fase merembesnya kebudayaan Barat sampai pada masyarakat Jawa yang kemudian membawa dampak pada perubahan masyarakat dan kebudayaannya. Fase ketiga ini terjadi pada pertengahan abad dan akhir abad ke-19 dan awal abad ke-20. Pada dua abad ini hubungan antara penduduk bumiputra dengan orang-orang barat semakin terbuka dan lebih intensif dibandingkan dengan abad-abad sebelumnya.
Sistem sosial dan sistem nilai budaya penduduk Jawa mengalami perubahan drastis sebagai akibat pengaruh Barat terasa pada akhir abad ke-19 dan awal abad ke-20, yakni sejak adanya kebijakan Tanam Paksa hingga Politik Etis. Sejak inilah orang Jawa sampai saat ini banyak mengenal tata pemerintahan, pemikiran, dan cara hidup orang orang Barat karena terlibat dalam masalah-masalah birokrasi, ekonomi dan pendidikan yang diperkenalkan oleh Pemerintahan Hindia Belanda (masa titik kulminasi pembaratan dalam tubuh masyarakat Jawa).
Dengan masuknya birokrasi Barat, jawa kini diperkenalkan sistem birokrasi Barat yang legal rasional sebagai pengganti birokrasi tradisional yang feodalistik. Namun pada kenyataannya malah timbul wajah lain dalam birokrasi di Jawa, yaitu terjadinya dualisme birokrasi, yakni di tingkat atas berlaku birokrasi yang legal rasional, sedangkan ditingkat bawah masih berlaku birokrasi tradisional. Dalam bidang ekonomi , dampak adanya proses westernisasi itu juga melahirnya ekonomi dualistik, yaitu suatu tanaman ekonomi yang berbelah dua, yakni ekonomi modern yang padat modal, dikelola menurut manajemen modern, dan menghasilkan produksi untuk ekspor di satu pihak serta ekonomi tradisional yang rentan modal, dikelola menurut manajemen tradisional, dan hanya menghasilkan barang-barang untuk subtensi. Yang termasuk kelompok pertama adalah industri-industri perkebunan swasta yang umumnya dikelola orang-orang Eropa dan Timur Asing, sedangkan kelompok kedua merupakan ekonomi dari masyarakat bumiputra yang pada umumnya berada pada daerah pedesaan.
Proses modernisasi dan westernisasi itu telah menimbulkan reaksi dari masyarakat bumiputra. Ada tiga kelompok yang menanggapi intervensi budaya Barat dan struktur masyarakat Jawa. Kelompok pertama adalah mereka yang menentang westernisasi dengan segala dampaknya karena dianggap mengguncangkan tanaman lama. Kelompok ini bersifat aktif dengan melakukan pemberontakan terhadap protes sosial, dan sebagainya, sedangkan yang bersifat pasif  minsalnya sindiran dari cara seni, lukisan dan karya sastra. Kelompok kedua mereka yang bersifat konformis dengan hadirnya budaya baru itu, tetapi tentap berprinsip pada gagasan-gagasan lama. Kelompok ketiga adalah mereka yang cenderung menjadi sama dengan Barat itu.
Pemerintahan kerajaan Jawa di Surakarta, termasuk Mangkunegara adalah kerajaan mangkunegaralah yang paling berhasil menyesuaikan diri dengan keadaan baru pada masa kolonial. Mangkunegara juga satu-satunya istana yang masih memelihara tradisi militer dari bangsawan Jawa meskipun dibawah kekuasaan Belanda. Legiun Mangkunegaran yang terdiri dari pasukan infanteri, kavaleri dan artileri, tetap dipertahankan dengan dukunga keungan Belanda. Mangkunegara juga mengembangkan perusahaan perkebunan secara luas, khususnya untuk komoditas kopi dan gula. Landasan kegiatan ekonomi modern ini telah diletakkan oleh Mangkunegara IV (1857-1881). Ia menerapkan teknik-teknik manajemen dan eksploitasi Eropa, tetapi dengan perbedaan yang penting bahwa keuntungannya di tanamkan kembali di daerah kekuasaannya daripada keluar negeri. Dia sedikit demi sedikit mengganti sistemapanage bagi para abdi dalem, diatur dengan sitem gaji. Proses modernisasi di Mangkunegara sesungguhnya telah dimulai oleh Mangkunegara IV (1857-1881). Modernisasi diutamakan dalam bidang ekonomi yang ditandai dengan berdirinya badan-badan usaha kerajaan sepertii pabrik gula, perkebunan kopi, dan sebagainya. Akan tetapi, hal itu mengalami kemandekan setelah Mangkunegara V berkuasa (1881-1896) karena menjadi krisis keuangan Praja Mangkunegaran. Ketika Mangkunegaran VI memegang tampuk pemerintahan (1896-1916), modernisasi itu diperlukan tidak hanya dalam lapangan ekonomi, tetapi meliputi segala bidang. Penggantinya, Mangkunegara VII (1916-1942), melanjutkan usaha-usaha modernisasi itu hingga membuat Mangkunegara sebagai kerajaan kecil yang memiliki tradisi yang lain dari kerajaan-kerajaan lain. Dengan meminjam konsep Romein bagi dunia Eropa, Mangkunegaran merupakan sebuah istana yang meyimpang dari pola umum kerajaan-kerajaan tradisional. Dengan kata lain pada masa itu orang menyebutnya sebagai demokratis,sebab Mangkunegaran merupakan satu-satunya kraton yang meniadakan hormatkeraton jauh sebelum Pemerintahan Belanda memulainya, tetapi ada pula yang menyebutnya sebagai nasionalis.
Ada beberapa batasan mengenai perubahan sosial ini. Perubahan sosial secara konseptual dibedakan dengan perubahan budaya. Walaupun secara konseptual keduanya dapat dibedakan, dalam kenyataan sejarah keduanya saling berkaitan. Perubahan tersebut dapat bersumber dari faktor biologi, fisik, maupun faktor sosial budaya. Dari ketiga faktor tersebut, faktor budayalah yang paling bertanggung jawab untuk sebagian besar perubahan dalam masyarakat dan untuk perubahan yang cepat. Dalam menanggapi perubahan sosial sebagai akibat modernisasi dan westernisasi itu, para pengegeng Praja Mangkunegaran lebih bersikap inovatif. Dengan demikian mereka tidak menolak kehadiran budaya Barat tersebut, tetapi berusaha untuk mengadopsi nilai-nilai dan kebudayaan Barat yang dipandang baik untuk kemudian diolah sesuai dengan nilai-nilai kebudayaan Jawa, melaui kebijakan-kebijakan yang perlakukannya.
Pura Mangkunegaran semula didirikan oleh Raden Mas Said atau Pangeran Samber Nyawa yang kemudian bergelar Pangeran Adipati Mangkunegaran. Berdirinya pura ini sebagai akibat konflik-konflik perang perebutan takhta yang telah terjadi dalam masa sebelumnya. Konflik ini diawali dengan peristiwa yang disebut Geger Pacinayaitu pemberontakan orang-orang china di Batavia pada tahun 1740 yang kemudian menjalar ke sepanjang pantai utara Jawa hingga melibatkan para bangsawan Mataram, termasuk didalamnya Raden Said.
Dalam masa ini terjadi konflik karena kekuasaan antara Raden Mas Said dengan Pakubuwana yang melibatkan VOC dan Mangkubumi. Konflik ini juga asal mula Perjanjian Salatiga. Pada saat itu di Jawa Tengah berdiri sendiri-sendiri yaitu Kasunanan, Kasultanan, dan Mangkunegaran. Ditinjau secara politik, penerimaan Perjanjian Salatiga oleh Mas Said bisa dipandang sebagai gagalnya cita-cita semula dari Mas Said, yakni ingin menjadi raja yang dapat menguasai tanah Jawa. Sejak itu ia hanya bersetatus penguasa bawahan yang kedudukannya, baik secara politik maupun secara budaya, berada di bawah Kasunanan Surakarta. Meski demikian, sejak saat itu ia bukan lagi orang luar (outsider) dalam pencaturan politik di lingkungan Kerajaan Mataram Islam.
            Pada tahun 1772, Mangkunegaran mencoba melepaskan ketergantungannya kepada Sunan. Hal ini tidak berhasil, dan pada tahun 1774 Mangkunegaran minta kepada Kompeni agar putranya diizinkan menjadi penggantinya, tetapi permintaan ini di tolak. Tahun 1780 Mangkunegaran meminta hal serupa kemabali namun tetap gagal, walau pada saat itu hanya meminta pemberian gelar pada cucunya. Dengan demikian status apanage Mangkunegaran masih seperti semula yang tidak dapat di wariskan secara turun-temurun. Usaha perubahan apanage baru terlihat setelah tahun 1790. Ini diawali karena terjadinya ketegangan antara pihak Kasunan dan Kasultanan karena Kasunan menganggap posisinya lebih tinggi dari Kasultanan. Namun, setelah mendapat tawaran uang sejumlah 4.000 real setahun, ia menaati kompeni yang berpihak pada kepada Sultan dan bersedia menarik pasukannya kembali yang telah digelar di medan laga.
Pada tahun 1792, sejak di angkat cucu Mas Said menjadi ahli waris penguasa di Kadipaten Mangkunegaran. Dengan demikian, mulai saat itu status apanageMangkunegaran telah berubah dari status precario menjadi pusat diwariskan secara turun-temurun. Penetapan ini termuat dalam piagam tanggal 14 Agustus 1792. Keberhasilan pihak Mangkunegaran dalam mengubah status apanage memang merupakan kemajuan akan tetapi ketergantungan pada Kompeni semakin tak terelakkan. Dari sinilah mulai diberlakukannya apanage menjadi diwariskan turun-temurun.
Sebagai salah satu bagian dari keempat swapraja, Mangkunegaran menempati wilayah di bagian timur dan utara Keresidenan Surakarata, tetapi daerahnya terpencar dibeberapa tempat, termasuk wilayah Kasunanan dan Kasultanan. Wilayah ini telah mengalami beberpa kali perubahan sejak berdirinya kerajaan itu. Pada saat itu luas wilayah kerajaan itu 4.000 karya. Luas wilayah dan batas-batas di bagi berdasarkan pada Piagam Salatiga 1757.
Adapun perbandingan luas wilayah Swapraja di Jawa Tengah antara lain yaitu Kasunanan Surakarta dengan luas wilayah 3.237,50 km2, Kasultanan Yogyakarta dengan luas 3.049,81 km2, Pura Mangkunegaran dengan luas 2.815,14 km2, dan Pura Paku Alam dengan luas 122,50 km2. Ibukotanya tidak terlalu luas, ibukota Mangkunegaran hanya seperlima dari seluruh wilayah Karesidenan Sukarta. Wilayah Mangkunegaran telah mengalami beberpa kali perubahan pembagian administrasi pemerintahan. Sebagian daerah dari Karesidenan Sukarta, pada umumnya daerah Mangkunegaran beriklim tropis, akibatnya dalam dua tahun ada dua pergantian musim.
Sebagai kelanjutan dari kerajaan Islam yaitu Mataram Islam, maka masyarakat Mangkunegaran termasuk masyarakat tradisonal. Dalam masyarakat seperti itu, tingkah laku rakyat dalam masyarakat bersifat ajek dan hampir-hampir tanpa perubahan, dan apabila ada perubahan, itu hanyalah sangat sedikit. Masyarakat juga bersifat kultural adapun ciricirinya pada masyarakat tradisional adalah teknologi yang sederhana, kaum elit memiliki pengetahuan terbatas, produksi lebih banyak dikerjakan dengan tenaga manusia dan hewan, bukan dengan mesin, sebagian pertanian tidak produktif, rabuk yang mereka gunakan rabuk alamiah. Akibatnya semua tergantung pada cuaca, sanitasi terbatas, pelayanan obat-obatan sangat sederhana, sehingga angka kelahiran dan kematian tinggi. Rakyat menerima itu semua karena kebodohan. Ciri-ciri demikian juga terdapat dalam masyarakat Mangkunegaran, terutama sebelum terjadinya modernisasi.
Dalam kebudayaan Jawa, masyarakat Mangkunegaran dikenal konsep hubungankawula-gusti. Dalam masyarakat Mangkunegaran dikenal dua strata, yaitu panggedeatau priayi (golongan penguasa) dan wong cilik (rakyat). Penggolongan ini di dasarkan pada pertuanan bukan karena dari segi ekonomi dan keunggulan kelahiran. Secara birokratis, dibawah Mangkunegaran adalah bupati patih (pada masa ini bupati hanya bersifat pribadi), dibawah bupatih ada para wedana dari berbagai departemen. Dibawah wedana terdapat para mantri (dalam departemen), dibawah para mantri ada terdapat pegawai rendahan yang terdiri dari juru tulis, pengurus kantor, juru timbang dan lain-lain.
Dalam suatu proses modernisasi, peranan elite pembaru sangatlah penting. Dalam suatu negara tradisional seperti Mangkunegaran, sebagian besar pembaharuan datangnya dari pusat kekuasaan. Sehungungan dengan hal itu, sorotan terhadap para elite pembaru dalam proses modernisasi itu merupakan suatu hal yang tidak dapat dikesampingkan. Modernisasi di Mangkunegaran sesungguhnya sudah dimulai sejak Sri Mangkunegara IV (1861-1881). Raja ini melakukan pembaharuan, terutama dalam bidang ekonomi dan pengembangan sejumlah badan usaha, terutama industri gula. Namun industri gula mengalami kebangkrutan setelah wafatnya raja ini akibatnya keuangan Praja dilanda krisis keuangan akibat salah urus oleh Mangkunegaran V dan badai krisis ekonomi dunia pada tahun 1880-an yang mengancam keberadaan industri gula sebagai tulang punggung ekonomi kerajaan.
Pada penghujung abad ke-19 kondisi perekonomian Praja Mangkunegaran mulai membaik. Hal ini terjadi akibat munculnya tokoh pembaru yang brilian dalam bidang ekonomi, yaitu Mangkunegaran VI. Membaiknya ekonomi praja memungkinkan modernisasi dalam bidang lain, seperti tata pemerintahan, etiket, pendidikan dan lain sebagainya. Pembaharuan ini dijalankan sejak Mangkunegara VI dan dilanjutkan oleh Mangkunegara VII.
Mangkunegara VI, nama kecilnya G.RM. Soejitno, merupakan putra keempat Mangkunegara IV dan garwa padmi (permaisuri). Lahir tanggal 13 Maret 1854 (17 Rajab 1785). Sebagai putra bangsawan ia hidup dengan berkecukupan, dan pada saat itu Praja Mangkunegaran dalam keadaan makmur. Mangkunegara IV hidup di istana dan mendapatkan pendidikan dari ayahnya yang meliputi ajaran etika, sejarah Mas Raden dalam berjuang, serta manajemen modern. Mangkunegara VI juga pernah di didik di sekolah Eropa ketika berumur 10 tahun, ia masuk ke sekolah rendah orang Eropa atau E.L.S (Europeesche Lagere School). Akan tetapi, pada akhirnya ayahnya mengeluarkannya dan memasukkan ia ke pendidikan Jawa yaitu Sekolah Pamong Siswa yang menggunakan bahasa Jawa. Namun kendati demikian karena pentingnya bahasa Belanda pada masa itu maka Mangkunegara IV tetap memberikan pendidikan bahasa Belanda dengan mengundang guru bahasa Belanda.
Pada umur 16 tahun Mangkunegara VI masuk dalam penddidikan militer. Ia masuk bagian infanteri, semula ia berpangkat prajurit biasa (flankeur), tetapi beberapa bulan kemudian di angkat menjadi bintara (onder officier) dengan pangkat sersan magang luar formasi. Karena prestasi penuh pada tahun 1874 ia diangkat menjadi prajurit penuh dengan pangkat letnan dua. Pada tahun 1874 yakni ia mendapat gelar Pangeran Handajaningrat dengan simbol payung kuning sebagai tanda kebesaran. Berdasarkan riwayat pendidikan dan pekerjaan Mangkunegara VI itu terlihat betapa luas pengalaman raja ini dalam dunia ketataprajaan. Tentu saja pengalaman hidup membentuk keperibadiannya saat itu sangat mewarnai tingkah lakunya dalam memimpin Mangkunegaran.
            Setelah Mangkunegara V (kakanya) wafat karena sakit, pada tanggal 2 Oktober 1896, atas usul K.B.R. Ayu Mangkunegara IV, ia diangkat menjadi kepala trahMangkunegara dan Komandan Leguin Mangkunegaran dengan para kolonel, dengan gelar K.G.P.A.A. Mangkunegara VI. Pada saat itu ia harus mentandatangi surat Acte van Verband (akta pengikatan). Namun kali ini isi piagam tersebut berbeda dari paigam tersebutnya. Ketika naik takhta, ia dihapakan beberapa masalah yaitu adanya defisit keuangan praja yang berakibat hilangnya otonomi Praja Mangkunegara dalam pengelolaan keunagan negara, kemudian perubahan kebijakan politik Kolonial dari politik Kolonial Liberal ke politik Kolonial Etis, yang membawa dampak modernisasi lebih dalam di kalangan masyarakat Jawa dan kemudian masalah pilihan antara mengikuti kultur Barat dan Kultur Jawa dalam mengelola prajanya.
Sebagai kelanjutan dari kerajaan Mataram Islam, Praja Mangkunegaran telah memiliki tata pemerintahan dan tata hukum sejak ia berdiri. Tata pemerintahan dan tata hukum tersebut berakar dari tradisi kebudayaan Jawa yang bersumber dari nilai-nilai agama Islam dan Hindu-Buddha. Dalam perkembangannya, tata hukum dan tata pemerintahan mengalami perubahan. Hal ini sebagai konsekuensi losis suatu praja baru yang berusaha mencari identitas diri yang harus berada dengan Kasunanan Surakarta dan Kasulatanan Yogyakarta. Sumber gagasan baru tersebut berasal dari pemikiran dan tradisi orang Barat (Belanda). Tatanan Birokrasi sebagai suatu basis dari praja adalah kerajaan tradisional yakni Mataram Islam, sisa pengaruh birokrasi lama masih mewarnai kehidupan birokrasi Mangkunegaran. Akan tetapi, karena menganut politik hubungan dekat dengan Pemerintah Kolonial Belanda, birokrasi yang legal rasional itu berpengaruh terhadap tatanan pemerintahan di Mangkunegaran. Proses masuknya birokrasi Barat masuk secara bertahap.
Seiring dengan pembaharuan-pembaharuan dalm bidang perekonomian dan kebudayaan di Mangkunegaran, dinas-dinas baru mulai didirikan. Dengan adanya wewenang kepengurusan semua pasar di wilayah mangkunegaran oleh Praja Mangkunegaran, dibentuklah Kabupaten Parimpuna (Marktwewzen) pada tahun 1917. Pada masa ini juga di buat struktur organisasi pemerintahan untuk diperbaharui seperti Pemerintah Urusan Tanah, pejabat pemungut pajak, Pemerintah Leguin, dan Pemerintah Sekolah Desa.
Pembaharuan dalam etiket kenegaraan dalam sebuah kerajaan, etiket kenegaraan merujuk pada prilaku yang seharusnya diperbuat oleh indivindu-indivindu yang ada dalam lingkungan negara atau praja tersebut yang meliputi keluarga raja, aparat pemerintahan kerajaan, dan rakyat Mangkunegaran. Termasuk didalamnya tata cara bertemu dengan Mangkunegaran, serta tata kerama antara atasan dan bawahan. Dalam hal ini tata berpakaian di Mangkunegaran juga memiliki aturan seperti hal Mangkunegara memiliki pakaian dinas. Hanya dari berpakaian akan tetapi dari segi kedisiplinan juga mengalami perubahan tata kedisiplinan dalam sehari-hari.
Sedangkan untuk Hukum dan Peradilan di Mangkunegaran, semula Kadipaten Mangkunegaran tidak memiliki wewenang membuat hukum secara bebas. Sebab, secara tradisional, Kadipaten Mangkunegaran berada di bawah tata hukum Kasunanan. Namun pada tanggal 4 Oktober 1818 berdasarkan peraturan hukum Jawa itu 4 hukum yg dikondifikasikan maka dengan dilibatkannya Manguknegaran dalam hal itu maka Mangkunegaran berhak untuk membuat peraturannya sendiri dalam bidang hukum dengan mengacu pada keempat hukum yang telah dikondifikasikan tersebut.
Ketika Mangkunegara IV memegang tampuk pemerintahan, tanah-tanahapanage itu ditarik kembali dan dikuasai secara langsung oleh Praja Mangkunegaran. Para pemegang tanah apanage mulai saat itu digaji dengan uang, disesuaikan dengan luas lebar kecilnya tanah yang pernah dikuasai. Setelah tanah apanage dikuasai oleh Mangkunegara barulah diadakan pembaharuan-pembaharuan dalam pendapatan sumber pendapatan Praja Mangkunegaran. Praja tidak hanya menggantungkan diri pada pertanian tetapi membangun perusahaan-perusahaan atau industri seperti halnya yang dilakukan oleh Pemerintahan Hindia Belanda.
Perusahaan-perusahaan Mangkunegaran itu adalah perkebunan kopi, perkebunan tebu dan pabrik gula, padi boga, dan sebagainya. Pada kurun waktu 1871-1881, Praja Mangkunegaran menerima laba dari hasil  penjualan kopi sebesar f 13.873.149,97, atau f 1.261.195,45, suatu jumlah penerimaan yang cukup besar bagi sebuah pekerjaan tradisional. Pabrik gula Colomadu yang dibangun pada tahun 1861 dengan dana sekitar f 400.000, sedangkan untuk pabrik gula  Tasik Madu pada tahun 1871. Selain itu Mangkunegaran IV juga merintis sejumlah usaha ekonomi lain seperti perusahaan penggilingan padi di desa-desa kota Surakarta, percobaan penanaman tembakau di Wonogiri, hasilnya kurang memuaskan. Penanaman kina daerah Tawangmangu, tetapi gagal. Pemeliharaan ulat sutra di Tawangmangu tetapi gagal. Usaha persawahan di Demak, usaha tambak di Semarang dan rumah-rumah kontrak di kampung Pindrikan, Semarang.
Pembaharuan ini disatu sisi menguntungkan akan tetapi disatu sisi berdampak buruk, karena masuknya perekonomian Mangkunegaran ke pasar dunia bila pasar dunia sedang buruk maka dampaknya bagi ekonomi Mangkunegaran. Efek buruk tersebut terjadi, namun persedian dana masih cukup, roda pemerintahan tetap berjalan. Namun, setelah Mangkunegara IV meninggal dan digantikan oleh keturunanya, Mangkunegara V, keuangan Mangkunegaran sangat kacau dan mencapai tingkat defisit, sehingga terlibat banyak hutang pada Kolonial Belanda. Kehancuran ekonomi juga dipengaruhi rusaknya tanaman kopi dan tebu karena hama.
Kehancuran perekonomian dari Mangkunegaran V, kemudian pembaharuan dalam keuangan dan perekonomian Praja dilakukan oleh putra keempat Mangkunegara IV yaitu Mangkunegara VI. Ia mengawali pemabaharuan ekonomi dengan cara modern kemudian dilanjutkan oleh Mangkunegara VII dengan berbagai kebijakan dikeluarkannya pada priode akhir abad ke-19 hingga awal abad ke-20 yaitu pemisahan keuangan negara dengan keluarga, penghematan dan efesiensi, pengelolaan sumber-sumber keuangan negara secara modern, dan pemanfaatan keuangan secara efisien dan efektif.
Dalam pemerintahan Mangkunegara VII banyak kebijakan yang dikeluarkan dan ditetapkan seperti yang berkaitan dengan pemerintahan, politik penghematan yaitu baiaya dalam kerajaan dikurangi, hal ini dilakukan untuk penghematan. Namun kebijakan-kebijakan tersebut tidak diterima oleh keluarga Mangkunegara V yang dulunya merasakan berkecukupan, merasa tidak puas dan berusaha menumbangkan penguasa ini dengan cara mengadu pada Pemerintahan Belanda bahwa anak laki-laki Mangkunegara VI yang bernama R.M. Soejono bukan anak sah, karena ia lahir sebelum ibunya menikah dengan Mangkunegara VI. Mangkunegara VII memberikan banyak perubahan dari peraturan yang telah dibuatnya.
Jadi kesimpulan bahwa dengan adanya pembaharuan dalam tata keungan dan birokrasi pemerintahan, banyak dilakukan pembangunan bagi kesejahteraan masyarakat. Pembangunan yang paling tampak menonjol adalah irigasi (bendungan air/waduk-waduk) untuk pengairan sawah masyarakat. Jembatan dan jalan sebagai penghubung antara istana dan untuk menembus daerah-daerah terisolir. Pendidikan dan kebudayaanyaitu berdirinya sekolah-sekolah desa, H.I.S. Siswo, Sisworini dan sebagainya, kemudian pembaharuan budaya dengan cara mengembangkan lagi budaya khas Jawa yang dianggap sudah pudar yang dicerminkan lewat bahasa, kesenian, dan tradisi. Selain itu pembuatan pabrik gula untuk keperluan rakyat pada masa itu. Mangkunegara diakui sebagai Praja kecil akan tetapi berpengaruh terhadap masyarakat Indonesia pada masa sesudahnya, terutama setelah Indonesia Merdeka.

Sumber : Wasino. 2014. Modernisasi di Jantung Budaya Jawa (Mangkunegaran 1896-1944). Jakarta : Kompas.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

KAJIAN SEJARAH SOSIAL

HISTORIOGRAFI KOLONIAL